Posts tagged cinta

Sendiri Bukan Pilihan Bijak

entesoldieMasih ingat pelajaran PMP atau PPKN sewaktu SMP tentang Homo Homini Socius yaitu manusia sebagai makluk social. Makhluk ciptaanNya yang tidak bisa hidup sendiri dengan kondisi apapun juga…… Banyak orang yang beranggapan mampu survive sendiri tetapi berakhir tragis bahkan mengenaskan. Bayangkan Anda hidup sendiri diplanet bumi ini…? (may be…) Bisa dipastikan sang waktu akan selalu memburu…ditemani sang maut…

Sebelumnya kita lihat periode kehidupan manusia secara makro utntuk membuktikan “socius”. Kehidupan manusia secara umum dikelompokkan menjadi tiga yaitu

Periode anak-anak mencakup kehidupan untuk belajar dan mengetahui apa yang ada di Bumi ini hingga dia berajak dewasa. Periode kehidupan yang menyenangkan bahkan terkenang hingga ajal menjelang

Periode produktif. Masa untuk berjuang atas hidup dan kehidupan.. kurang lebih periode umur 18 – 45 tahun. Keberadaannya sebagai manusia banyak diperankan pada periode ini. Manusia bekerja, menikah dan mempunyai anak.

Pensiun. Waktu untuk berhenti dan menikmati jerih payah dan sekaligus sebagai penantian. Masa yang banyak diisi dengan ibadah dengan tulus

Dipastikan tak ada satu manusiapun yang mampu melewati semua tahapan itu sendiri. Negeri Indonesia sekarang ini banyak di isi oleh komponen produktif. Mereka dengan giat bekerja menafkahi keluarga dan anak mereka……. Tetapi ada yang perlu mendapat perhatian yaitu anggota kelompok produktif yang belum berproduksi (dalam artian sebenarnya).

Mereka masih terlilit masalah pasangan, dengan siapa akan menikah?? Pertanyaan sederhana yang membutuhkan waktu yang lama untuk menjawab. Frustasi kala ”deadline” terlewati (yang konon usia 30) banyak diantara mereka yang akhirnya men ”down grade” pasangan idaman.

Tujuannya hanyalah sekedar menikah.

Bijaksanakah keputusan ini..? yang pasti tidak salah Karena mereka beralasan bahwa sendiri bukanlah pilihan bijak untuk mengarungi hidup.

Leave a comment »

Berarti Tanpamu

hti
Hati-hati ku jagamu
Aku takkan rela kau menangis
Terpaku dalam sedih nan perih
Insan terkasih pujaan hati

Cahyamu bangkitkan diri
Indah menyatu pesona jiwa
Namun….hatimu telah pergi
Tinggalkan setia pada janji
Akankah merana sepi

Mengharap keadilan illahi
Ungkap takdir suci

Comments (2) »

Ketika Duri Daging Lebih Sakit Dari Sayatan Pedang

Seorang panglima perang pastilah tak takut dengan pedang saat peperangan. Dia hadapi tajamnya pedang musuh dengan senjatanya kalau perlu dengan kulitnya...Keperkasaan seorang prajurit yang tak perlu diragukan lagi.

Nyaris tak ada lemah dalam medan laga, semua dipersiapkan dengan teliti dan matang. Diujikan untuk meminimalkan luka yang berakibat kematian. Kalau terpaksa terluka oleh pedang musuh justru mengobarkan semangatnya untuk lebih menyerang. Sayatan pedang akan membuatnya maju. Darah tak terasa mengalir apalagi perih luka. Tapi hanyalah menyerang dan menghantam…

Panglima adalah manusia biasa dengan kehidupan sosial yang tak hanya mengayunkan pedang dengan tangan tapi hati...Pada kehidupan ini pedang bukanlah satu-satunya senjata yang mematikan. Suara, pemikiran bisa menjadi racun yang mematikan. Kekuatan bukan yang utama; pengertian, pemahaman dan pengejawantahan adalah pamungkasnya senjata di laga sosial.

”Kamu tidak memahami perasaan, ku!” sebuah kata yang sering dilontarkan kala ia terpojok. Bisa jadi senjata saat itu…(ungkapan yang keluar dalam hati) Saat dimana ketidakcocokan, ketidaksesuaian, dan perbedaan mengemuka tetapi terlalu berat untuk meninggalkan. Sendiri belumlah menjadi pilihan yang bijak.

Ketika itulah duri lebih sakit dari pedang…..jangan menganggap duri itu dari makhluk lain tapi…”Lihatlah diri kitapun berduri!” Hati-hati dengan duri itu….pergunakan dengan bijaksana………………

duri(Parlan Raharjo dalam medan laga)

Leave a comment »

Ibu adalah Sang waktu

Ibu adalah Sang waktu Seorang anak kecil bercerita kehidupannya di masa silam. Buah perkawinan rakyat desa, dipelosok Jawa. Memori masa lalunya sangatlah minim. Terlahir dari orang tua sederhana. Rumah bambu yang semi permanen menjadi naungnya Didepan rumah, sebuah tenda besar berwarna coklat tua berdiri kokoh pada jalan yang tepat berada dipinggir sungai. Banyak kursi tertata rapi dibawahnya. Ada hajatankah (tanya si anak dalam hati). Ternina bobokkan oleh sang paman hari yang ramai itu terlewat begitu saja.

 

Si anak tidak sempat bertanya kemana Ibu?, kemana Bapak? Seberkas kenangan yang bisa dimunculkan dimasa kini. Bagai mesin waktu yang melewati lorongnya malam telah menghampiri. Entah ada apa, pada malam yang gulita diajaklah ia oleh pamannya. Berjalan-jalan mengelilingi sebuah kota kecil didaerah tersebut. Walau listrik belum merata tetapi kota tersebut tampak gemerlap. Banyak lampu neon yang bersinar, pemandangan ini dilihat sepanjang perjalanan. Sepeda onthel yang menjadi saksi itu kini telah usang. Indah benar tempat ini….gemerlap (decak kagum Si Anak) Lima tahun berselang kejadian itu belum terungkap. Ada apa sebenarnya? Si Anak tumbuh dengan layaknya anak desa. Bersekolah dari TK hingga SD. Anak kecil mana yang dapat lepas dari dekapan ibu, belaian lembutnya. Tak ada wanita lain yang bisa menggantikan peran psikologisnya (kalaulah hanya sekedar fisik BISA).

 

Kemanjaan, kenakalan dan watak meminta perhatian menonjol padanya. Sebuah pelampiasan tuk mengisi kehampaan yang tak diketahuinya. Hanya pertanyaan, mana ibu? (yang tak dapat dijawab si Bapak) Belum waktunya dia tahu……………… (pikir si bapak) Waktu…..ya sang waktulah yang mengemuka Pertanyaan sederhana yang menggunung, mengeras, membatu yang harus mendapatkan jawab. Waktu tersayang tak mengelak lagi. Si anak bertanya, ”Pak, mana ibu?” bukan jawaban yang meluncur dari bapak Diajaklah ia ke sebuah pinggiran desa yang disana banyak rumah-rumah (anehnya rumah itu kecil). Begitu masuk komplek tempat itu dicarilah sebuah bangunan kotak berwarna biru yang tanpa tulisan. ”inilah Ibumu….?’” Apa.??..leluconkah ini (teriaknya dalam batin) Penjelasan sambil bersandar pada bangunan rumah kecil didengar. Ya….ini adalah ibu kandungmu. Ibu sudah MENINGGAL NAK..! ibumu terkena serangan kangker ganas, ibumu tidak terselamatkan. Penjelasan singkat yang diterimanya sudah cukup menjawab pertanyaannya. Menangis dan menangis………..respon si kecil atas pernyataan sang Bapak.

 

Sejak saat itu kalau ada masalah…si Anak pasti dapat dengan mudah ditemukan di tempat itu… Ya..ternyata tempat tersebut adalah kuburan masyarakat desa (dahulu masih ada struktur berupa cungkup=rumah kecil jawa) Rangkaian kejadian masa silam mulai terbentuk….jadi waktu didepan rumah banyak kursi pada siang itu adalah hari meninggalkan sang Ibu dan malam waktu ia diajak jalan-jalan sebagai penghibur sekaligus pengalih perhatian. Pengalih yang kebablasan hingga memori wajah tentang ibu tidak terekam. Kehangatan peluk ibu yang tak terasa.

 

Waktu yang membesarkannya…waktu yang mendidiknya dan waktu pula yang menjaga mainnya. Waktu telah menjadi IBUnya. Bagaimana bentuk kasih sayang ibu, bagaimana manjanya bersama ibu, bagaimana??? (banyak pertanyaan lain tentang ibu yang muncul). Jawabannya adalah rasa yang tak pernah terasa Satu rasa yang terekam saat si anak sakit pasti si Ibu datang menjenguk…mengajaknya memutari rumah….ibu aku merindumu. Kasih sayang seorang yang telah melahirkan manusia ke dunia tak bisa digantikan perempuan manapun, sebaik apapun, namun kasih sayang ibu senantiasa mengalir melalui waktuNYA. Ibu kini anakmu sudah dewasa Ibu anakmu masih merindu Korbankan nyawamu, hanya untuk ananda Ibu tersenyumlah…disana…. Ibu…. melalui sang waktu aku rasakan kasihmu Doa anakmu takkan putus…

Leave a comment »